Kita tentu tidak keberatan bila cabai dikatakan sebagai salah satu komoditas di luar beras yang merupakan kebutuhan mutlak mayoritas penduduk Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke hampir semua orang suka menyantap makanan pedas. Tidak ada rasa pedas berarti tidak nikmat! Mulai dari gorengan, seperti tahu, tempe, sayuran, lauk pauk bahkan sampai makan mi sekalipun rasanya tidak nikmat tanpa cabai. Nah, inilah yang membuat cabai terbilang komoditas menarik di Indonesia. Jangankan berbicara ekspor cabai, untuk konsumsi dalam negeri pun sering tidak terpenuhi.
Masihkah kita ingat ketika beberapa tahun silam pemerintah dibuat kalang-kabut ketika harga cabai melejit sangat tinggi menembus Rp150 ribu/kg? Mulai dari Presiden SBY dan jajarannya mengajak seluruh rakyat Indonesia menanam cabai di dalam pot untuk memenuhi kebutuhan masing-masing rumah tangga. Tidak cukup di situ, pemerintah melakukan juga impor terutama dari Thailand dan Tiongkok.
Kenaikan harga cabai memang menjadi factor penentu inflasi bahkan pada bulan-bulan tertentu pengaruh kenaikan harga cabai terhadap inflasi lebih besar daripada kenaikan BBM terhadap inflasi! Pertanyaannya, apakah memang kita harus impor cabai jika harganya naik? Toh, kenaikan harga hanya bertahan paling lama satu-dua bulan saja. Bukankah kita juga sebenarnya membeli cabai hanya seperlunya saja untuk kebutuhan rumah tangga kita? Biarkanlah sekitar 70 ribuan petani menikmati kenaikan harga sebagai imbal jerih payah mereka.
Umumnya pada bulan Ramadan hingga dua minggu setelah Idul Fitri, harga cabai naik secara signifikan dibandingkan dengan bulan-bulan normal. Namun khusus tahun lalu terjadi fenomena yang tidak biasanya. Ya harga cabai justru terkapar!
Hal tersebut agak sulit dijelaskan dengan nalar di saat kebutuhan konsumsi cabai sangat tinggi, saat itulah seharusnya petani cabai menikmati harga jual tinggi ternyata malah sebaliknya. Alasan pertama kemungkinan banyak sekali petani menanam cabai di seluruh negeri kita sehingga terjadi kelebihan pasokan cabai yang mengakibatkan harga jatuh. Kemungkinan lain kelebihan pasokan cabai dikarenakan ada impor sebagai antisipasi kekurangan pasokan cabai. Awal 2015 hingga akhir Februari, harga cenderung bagus. Sementara pada Maret hingga April, harga melemah kembali walau bangkit lagi akhir April hingga pertengahan Mei.
Harga akan jatuh
Pemerintah pusat dalam hal ini khususnya Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian berusaha mengurangi kenaikan harga cabai dengan memfasilitasi penanaman cabe di musim kering dengan pengairan, sehingga dengan banyakanya petani menanam di musim kering maka pada musim hujan stok cabe tersedia dan cukup. Menurut hemat penulis, penanaman cabai di musim kemarau sebenarnya justru sangat banyak dilakukan karena cabai merupakan komoditas utama setelah padi di beberapa sentra-sentra penanaman. Namun demikian kemungkinan di beberapa daerah luar Jawa yang selama ini mengandalkan pasokan cabai dari luar daerah bisa melakukan penanaman cabai misal Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Riau, Papua dan lain-lain. Mungkin tidak hanya bantuan dari sisi teknologi irigasi saja yang diperlukan, namun juga sumber daya manusia yang terampil dalam budidaya cabai hibrida yang harus disediakan untuk alih teknologi ke masyarakat setempat.
Jika pemerintah menggalakkan penanaman caba secara besar-besaran di pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung maka harga cabai dipastikan akan jatuh dan membuat bahagia para ibu rumahtangga termasuk para pejabat terkait. Namun janganlah hal ini dilakukan, kasihan nasib petani cabai. Jika harga hancur, kita akan banyak melihat petani cabai gulung tikar dengan meninggalkan banyak hutang di kios-kios pertanian atau menggadaikan harta bendanya. Apa alasan penulis melarang penanaman cabai besar-besaran di sentra penanaman cabai? Dari tahun ke tahun keuntungan petani cabai semakin hari semakin sudah semakin menurun. Biaya produksi cabai sudah sangat tinggi. Dua puluh lima tahun lalu, ketika penulis masih menjadi pembimbing petani di lapangan, produktivitas cabai secara intensif rata-rata 1,25 kg/tanaman dan biaya produksi masih berkisar Rp2.000/tanaman. Padahal naik-turun harga dari zaman dulu sampai sekarang segitu-gitu juga. Saat ini dengan pemeliharaan cabai merah besar atau keriting secara intensif, biaya per tanaman minimal Rp6.000. Jika populasi per hektar maksimal 14.000 tanaman dan produksi per tanaman 0,75 kg, maka petani harus mampu mendapatkan harga panen di kebun rata-rata minimal Rp8.000/kg! Namun ingat, produktivitas tanaman semakin hari semakin menurun seiring sulitnya pengendalian tiga pengganggu utama, yaitu virus Gemini, layu, dan patek (antraknosa). Saat ini petani tidak bisa hanya mengandalkan pestisida untuk mengendalikan hama penyakit ini. Penggunaan agensi hayati sudah mutlak diperlukan karena hanya dengan cara ini penyakit virus Gemini, layu, dan patek (antraknosa) bisa lebih ditekan namun biaya produksi jadi meningkat.
Risiko penanaman cabai menjadi semakin tinggi, sementara jaminan harga panen bagus semakin susah didapat. Beberapa sahabat petani sudah mulai meninggalkan agribisnis cabai ini. Hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah pusat untuk membantu kesejahteraan petani cabai adalah dengan meniru kebijakan di sektor tanaman padi dengan memberikan kepastian harga jual. Jika harga jual cabai merah besar di bawah Rp.6.000/kg bisa dipastikan petani akan merugi. Jika kepastian harga ini sulit diterapkan, pemerintah bisa memberikan subsidi pupuk baik pupuk tunggal, majemuk maupun pupuk hayati seperti halnya padi. Ini adalah hal mudah dan murah karena luas penanaman cabai tidak sampai 2% dari luas penanaman padi! Bantuan pemerintah ini akan mengurangi biaya produksi tanaman cabai secara nyata. Hal lain yang bisa dilakukan pemerintah pusat adalah dengan memberikan kebijakan bahwa produsen saus sambal botolan diwajibkan untuk mempunyai mitra petani binaan cabai (segala jenis baik cabai merah besar, keriting hingga cabai rawit). Hal ini akan membantu kepastian harga jual yang bagus untuk petani, jika tidak ada kewajiban maka para produsen saus sambal botolan akan lebih suka menggunakan bubuk cabai kering yang diimpor dari China dan India. Dengan demikian agribisnis cabai akan bergairah kembali walaupun selama orang Indonesia masih suka makan pedas, maka selama itu pulalah agribisnis cabai tetap digeluti.
Prospek agribisnis cabai tetaplah menarik, jika kepastian harga jual secara rata-rata cenderung bagus tidak melonjak tajam dan jika turun pun masih memberikan untung ke petani. Teknologi budidaya yang maju akan menjawab dan membantu petani sukses dalam meningkatkan produktivitas. Namun demikian kebijakan pemerintah pusat yang berpihak ke petani sangatlah dinantikan. Ayo kapan lagi melihat petani cabai kita tersenyum dan hidup sejahtera kalau bukan sekarang?
Final Prajnanta, Pemerhati, penulis buku dan praktisi cabai
*) Tulisan ini pernah dimuat di majalah Agrina Vol 11-No.252 edisi Juni 2015