Pintu gerbang Masyarakat Ekonomi ASEAN sebentar lagi dibuka.  Saat itu, nyaris tak ada lagi sekat pembatas yang memisahkan Negara-negara ASEAN.  Lalu lintas manusia dan barang akan bebas keluar masuk berbagai negara di kawasan ini nyaris tanpa peraturan yang diskriminatif. Ekonomi pasar bebas akan berlaku nyaris sempurna.  Mereka yang tidak mampu bersaing, bersiap-siaplah menjadi penonton, atau korban.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang paling besar di ASEAN, tak terbantahkan bahwa Indonesia mendapatkan bonus demografi.  Sayangnya, bonus demografi itu bias jadi senjata makan tuan jika kita tidak bisa memanfaatkannya sesuai dengan kondisi yang ada.

Mari kita bandingkan dua negara ASEAN, Indonesia dan Singapura.  Jumlah penduduk kedua negara bagai bumi dengan langit.  Besar sekali selisihnya.  Indonesia 252 juta, sedangkan Singapura hanya 5,4 juta.  Di kawasan ASEAN, jumlah total penduduknya sekitar 600 juta. Artinya, nyaris separuhnya tinggal di Indonesia.

Sebelum pintu gerbang MEA dibuka, boleh jadi pasar dalam negeri Indonesia yang sangat besar masih bisa dinikmati produsen barang lokal. Berbagai beleid seperti bea masuk, masih cukup kuat menjadi benteng penghambat masuknya produk asing ke negeri ini.   Tanpa berpikir ekspor, produsen lokal masih bisa ongkang-ongkang kaki menikmati besarnya pasar dalam negeri.

Lain halnya dengan Singapura.   Betapapun hebatnya produk mereka, pasarnya hanya terbatas di angka 5,4 juta.   Jika ada kelebihan pasok, mereka harus putar otak supaya produk mereka terserap di pasar ekspor, dan mereka harus pandai-pandai menyiasati aturan bea masuk antar negara.

Bagaimana setelah MEA diberlakukan?  Pasar Indonesia dan Singapura seolah bergabung.  Jumlahnya 257,4 juta.   Bagi Indonesia, penambahan besaran pasar sangat tidak signifikan.  Tapi bagi Singapura,  besaran pasarnya meningkat 50 kali lipat.  Fantastis!

Melihat angka-angka perbandingan itu, ditambah dengan kondisi-kondisi dalam negeri saat ini, hati kita miris.  Sebagian produk dalam negeri, belum bisa keluar dari isu lemahnya daya saing.  Berbagai aturan di dalam negeri, menyisakan cukup banyak masalah yang bermuara pada satu titik : rendahnya efisiensi akibat tingginya struktur biaya produksi.  Bagaimana pengusaha Indonesia bisa jadi pemenang di era MEA?

Tingkatkan produktifitas.  Tak terbantahkan, bahwa di ASEAN, Indonesia pun masih harus bersaing di papan bawah dalam soal produktifitas.  Kita kalah jauh dari Singapura dan Malaysia.  Mungkin kalah juga dari Vietnam.  Lebih tinggi sedikit dari Myanmar.  Ini butuh kerja ekstra.  Apalagi waktunya sudah dekat!
Tingkatkan kualitas produk.  Dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, masalah kualitas produk bisa jadi kunci memenangkan persaingan.  Tingkat pendidikan yang tinggi, semakin menyadarkan masyarakat akan pentingnya mutu produk.  Di sisi lain, peningkatan jumlah pendapatan pun membuka peluang konsumen untuk naik kelas, dan mencoba menikmati produk berkualitas tinggi.  Dan patut diingat, riset membuktikan, konsumen yang berpendapatan tinggi semakin kehilangan sensitifitas terhadap harga
Tingkatkan efisiensi.  Ini pun tidak bisa ditawar-tawar lagi.  Di sisi pemerintah, harus ada kemauan untuk memotong jalur birokrasi dan tidak memberikan peluang munculnya undertable money.  Di sisi pengusaha, tingginya efisiensi akan membuat mereka leluasa menentukan dua hal yang sama-sama menyenangkan: meningkatkan laba usaha dan atau memberikan harga lebih rendah kepada konsumen
Tingkatkan daya saing.  Nggak perlu takut dengan persaingan, seketat apapun.  Persaingan adalah sunnatullah.  Apabila 3 hal yang disebutkan sebelumnya bisa dipenuhi, soal daya saing tak akan jadi masalah besar.  Bahkan bisa jadi, daya saing kita akan semakin tinggi.   Kalah menang dalam persaingan, itu biasa.  Tapi kalah melulu dalam persaingan, itu jangan dibiasakan.
Welcome to the jungle.  Be the winner!

Zainal Abidin
Rektor Institut Kemandirian Dompet Dhuafa
HeadMaster SekolahMonyet.com